Friday 10 April 2015

PKN : Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I

          Di tengah tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi persetujuan Linggarjati, ternyata Belanda terus melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan isi persetujuan Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan boneka, Belanda juga terus memasukan kekuatan tentaranya. Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimantum yang isinya antara lain sebagai berikut.
1. Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
2. Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri.
3. Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor dan
    devisa.
4. Pembentukan Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie), Pembentukan
    Pasukan Gabungan termasuk diwilayah RI.
          Pada prinsipnya PM Syahrir dapat menerima beberapa usulan, tetapi menolak mengenai pembentukan Pasukan Keamanan Bersama di wilayah RI. Tanggal 3 Juli dibentuk cabinet baru di bawah Amir Syarifudin yang juga tetap menolak pembentukan Pasukan Keamanan Bersama di wilayah RI.
          Pada tanggal 21 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan aksi polisional mereka yang pertama. Pasukan pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian Belanda menguasai semua pelabuhan di Jawa. Di Sumatera, perkebunan perkebunan di sekitar Medan, instalasi instalasi minyak dan batu bara di sekitar Palembang dan Padang diamankan. Pasukan pasukan Republik bergerak mundur dalam kebingungan dan menghancurkan apa saja yang dapat mereka hancurkan.
          Belanda ingin melanjutkan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang tidak menyukai aksi polisional tersebut menggiring Belanda untuk segera menghentikan peperangan terhadap Republik Indonesia.
          Pada tanggal 30 Juli 1947, pemerintahan India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia-Belanda dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Permintaan itu diterima baik dan dimasukan dalam agenda siding Dewan Keamanan PBB. Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak pihak dan mulai berlaku sejak 04 Agustus 1947. Sementara itu untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Konsuler dengan anggota anggotanya terdiri dari para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina, Belgia, Prancis, Inggris dan Australia.
          Komisi Konsuler itu diperkuat dengan personil militer Amerika Serikat dan Perancis sebagai peninjau militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa tanggal 30 Juli sampai 04 Agustus 1947 pasukan masih mengadakan gerakan militer. Pemerintah Indonesia menolak garis demakrasi yang dituntut oleh pihak Belanda berdasarkan kemajuan kemajuan pasukannya setelah pemerintah melakukan gencatan senjata. Namun penghentian tembak menembak tidak dimusyawarahkan dan belum ditemukan tindakan yang tepat untuk menyelesaikannya agar jumlah korban bisa dikurangi.
          Tanggal 3 Agustus 1947 Belanda menerima resolusi DK (Dewan Keamanan) PBB dan memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak menembak. Pelaksanaannya dimulai pada malam hari tanggal 04 Agustus 1947. Tanggal 14 Agustus 1947, dibuka siding DK PBB. Dari Indonesia hadir, antara lain sutan Syahrir. Dalam pidatonya, Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan menghentikan pertempuran, perlu dibentuk Komisi Pengawas.
          Pada tanggal 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Merika Serikat tentang pembentukan suatu Committee of Good Office (Komisi Jasa Jasa Baik) atau yang dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian Belanda dan Indonesia memilih Negara pihak ketiga, yakni Amerika Serikat. Komisi resmi terbentuk tanggal 18 September 1947. Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia dipimpin oleh Paul Van Zeeland dan Amerika Serikat dipimpin oleh Dr. Frank Graham.
          Ternyata Belanda masih terus berulah, sebelum Komisi Tiga Negara datang di Indonesia. Belanda terus mendesak wilayah dan melakukan perluasan wilayah kedudukannya. Kemudian tanggal 29 Agustus 1947, secara sepihak Van Mook memproklamasikan Garis demakrasi Van Mook, menjadi garis batas antara daerah pendudukan Belanda dan wilayah RI pada saat gencatan senjata dilaksanakan.

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih telah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar

Popular Posts